Cerpen: Kau Berkata Aku Segalanya, Tapi Membuktikan Aku Bukan Apa-apa

Kau Berkata Aku Segalanya, Tapi Membuktikan Aku Bukan Apa-Apa

Embun pagi merayap di kelopak lotus, selembut sentuhan jari Lian pada pipi Jun. "Kau segalanya bagiku, Jun," bisiknya, suara yang biasanya secerah mentari kini terdengar parau, seperti tercekik dusta. Jun, dengan senyum yang selalu berhasil mencairkan es, hanya menggenggam erat tangannya. "Dan kau adalah duniaku, Lian."

Dunia Lian memang Jun. Atau, setidaknya, itu yang ia yakini selama sepuluh tahun terakhir. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah pohon sakura yang berguguran, Jun adalah matahari, sedangkan Lian adalah bunga yang selalu mekar karena sinarnya. Namun, di balik senyum Jun, tersembunyi lorong gelap bernama kebohongan.

Lian, dengan jiwa sehangat mentari musim semi, mulai merasakan ada yang janggal. Pertemuan Jun dengan seorang wanita bergaun merah di kedai teh, tatapan ragu yang ia tangkap secara tak sengaja di mata Jun, dan bisikan-bisikan di istana yang selalu berhenti saat ia mendekat. Hatinya, yang selama ini dipenuhi kebahagiaan, mulai diselimuti keraguan.

"Apakah aku benar-benar segala bagimu, Jun?" pertanyaan itu meluncur dari bibirnya saat mereka berjalan di taman istana yang dipenuhi peony yang sedang mekar. Jun berhenti, menatapnya dalam-dalam. "Tentu saja, Lian. Apa yang membuatmu berpikir sebaliknya?" Suaranya terdengar meyakinkan, tapi Lian merasakan ada dinding kaca yang tiba-tiba tumbuh di antara mereka.

Pencarian Lian akan kebenaran membawanya pada lorong-lorong rahasia istana, pada surat-surat yang disembunyikan di balik ukiran naga di kamar Jun, dan pada wanita bergaun merah yang ternyata adalah tunangan Jun, putri dari kerajaan tetangga yang kuat. Persetujuan politik, begitulah alasan yang tertulis dalam surat-surat itu. Lian hanyalah selir kesayangan, hiburan di sela kesibukan Jun.

Dunia Lian runtuh. Semua janji, semua sumpah, semua bisikan cinta Jun ternyata hanyalah kepalsuan. Rasa sakitnya begitu menganga, seperti luka yang tak mungkin sembuh.

Malam itu, Lian menemui Jun di kamar kerjanya. Jun tersenyum, berusaha meraih tangannya. "Lian, ada apa? Kau tampak pucat."

Lian menepis tangannya. "Kau tahu apa yang kulakukan hari ini, Jun? Aku menemukan kebenaran. Aku menemukan bahwa aku bukan apa-apa bagimu, kecuali sebuah kepura-puraan."

Jun terdiam. Senyumnya menghilang, digantikan ekspresi panik. "Lian, dengarkan aku..."

"Tidak, Jun. Kini giliranmu untuk mendengarkan."

Lian mengeluarkan sebuah cawan berisi racun. "Racun ini... akan melenyapkan semua kebohonganmu. Semua janji palsumu."

Jun menatap cawan itu, lalu menatap Lian. "Kau... kau membunuhku?"

Lian tersenyum. Senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum yang menyimpan perpisahan abadi. "Kau membunuhku lebih dulu, Jun. Sepuluh tahun lalu, saat kau berjanji untuk mencintaiku selamanya. Kau membunuhku setiap kali kau membohongiku."

Jun meminum racun itu. Tanpa perlawanan.

Beberapa hari kemudian, Jun ditemukan meninggal dunia. Penyebabnya adalah penyakit jantung yang dideritanya sejak lama. Lian, dengan wajah tanpa ekspresi, menghadiri pemakamannya. Dia adalah selir kesayangan yang berduka atas kepergian kaisar tercinta.

Setelah pemakaman, Lian menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tidak ada yang tahu bahwa dia telah mewariskan tahta kerajaan pada sepupu Jun yang jujur dan adil. Tidak ada yang tahu bahwa dia telah meracuni sumber air kerajaan tetangga, memastikan bahwa kerajaan itu tidak akan pernah lagi memiliki kekuatan untuk menyerang kerajaannya. Balas dendamnya tenang, terukur, dan sempurna.

Di bawah sakura yang berguguran, Lian membisikkan sebuah kalimat yang akan menghantui siapa saja yang pernah menyakitinya:

"Bukankah lebih baik hidup dalam kebenaran yang pahit, daripada dalam kebohongan yang manis?"

You Might Also Like: Wajib Baca Rahasia Yang Ditanam Di

Post a Comment