Lorong istana bergaung. Bukan dengan tawa atau musik, melainkan kesunyian yang menggigit tulang. Cahaya rembulan yang pucat merayapi lantai marmer, menari-nari di antara pilar-pilar raksasa. Kabut dingin dari Pegunungan Kunlun, yang konon menyimpan rahasia ABADI, menyusup masuk, menciptakan bayangan yang menari-nari, seolah menyaksikan drama yang segera dimulai.
Dulu, tempat ini adalah saksi bisu kebahagiaan Putri Lian Hua. Sekarang, hanya aroma dupa yang pahit dan debu masa lalu yang tersisa. Putri Lian Hua, sang putri yang dikabarkan tewas dalam pemberontakan sepuluh tahun lalu, KEMBALI.
Sosoknya bagaikan ilusi. Jubah putihnya berkibar lembut, menyatu dengan kabut. Wajahnya, yang dulu penuh senyum, kini dilukiskan oleh garis-garis tipis kesedihan dan... KETERASINGAN. Di hadapannya, berdiri Kaisar Long Wei, kakaknya sendiri. Wajahnya keras, tegang.
"Lian Hua," bisik Kaisar, suaranya serak. "Aku... aku pikir kau sudah..."
"Mati?" sambut Lian Hua, suaranya lembut bagai desiran angin, namun menusuk bagai jarum es. "Apakah itu yang kau harapkan, Kakak?"
Kaisar terdiam. Ia menatap adiknya, berusaha menemukan Lian Hua yang dulu. Gadis kecil yang selalu mengejarnya, memohon didongengkan kisah-kisah kepahlawanan.
"Kau tahu aku tidak menginginkan itu," jawab Kaisar akhirnya, suaranya berat. "Pemberontakan itu... semua ini... bukan keinginanku."
Lian Hua tertawa pelan, sebuah nada yang terasa asing di telinga Kaisar. "Keinginan? Kakak selalu pintar bersembunyi di balik keinginan orang lain. Memainkan peran korban dengan begitu SEMPURNA."
"Apa yang kau katakan?" Kaisar mengerutkan kening.
Lian Hua melangkah maju, mendekati kakaknya. Matanya, yang dulu berbinar cerah, kini memancarkan KETEGARAN yang menakutkan. "Kudengar desas-desus. Kudengar tentang pengkhianatan, tentang perebutan kekuasaan, tentang bagaimana kematianku dimanfaatkan untuk memadamkan api pemberontakan."
"Itu... itu fitnah!" bantah Kaisar, suaranya meninggi.
Lian Hua mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kaisar. Sentuhan yang dulu menghangatkan, kini terasa dingin dan hampa. "Tidak, Kakak. Aku tahu kebenaran. Aku tahu siapa yang menarik benang. Aku tahu siapa yang merencanakan semuanya, sejak awal."
Kaisar menatap adiknya, matanya membulat. Ketakutan terpancar jelas di wajahnya.
"Air mata yang tak pernah diizinkan jatuh," bisik Lian Hua, suaranya nyaris tak terdengar. "Itulah yang menjadi pupuk bagi kekuasaanmu, Kakak."
Lian Hua tersenyum, sebuah senyum yang dingin dan mengerikan. Kabut semakin tebal, menutupi lorong istana, menelan segalanya dalam kegelapan.
"Karena akulah dalang semua ini."
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Non
Post a Comment