Cerita Seru: Janji Yang Kupersembahkan Pada Angin

Langit Jakarta, edisi Kiamat Ringan, menolak berpagi. Gedung-gedung pencakar langit menjulang bagai gigi ompong, menganga tanpa harapan. Di tengah keretakan aspal, Xia Li mengetik pesan. Jari-jarinya menari di atas layar retak, menghasilkan kalimat yang absurdnya mendekati puisi: "Di mana kamu, Zhang Wei? Sinyal cinta kita sepertinya hilang ditelan wifi tetangga."

Xia Li hidup di masa depan yang distopia, masa depan di mana oksigen dijual per liter dan kebahagiaan adalah aplikasi berbayar. Ia percaya, entah mengapa, bahwa Zhang Wei adalah kunci. Kunci untuk apa? Ia pun tak tahu. Hanya insting, bisikan di tengah noise iklan kosmetik yang terus berdengung di kepalanya.

Sementara itu, di sebuah kedai kopi usang di Shanghai tahun 1998, Zhang Wei duduk termenung. Asap rokok membentuk lingkaran di sekelilingnya, tarian hantu dari kenangan yang belum terjadi. Di tangannya tergenggam Walkman butut, menyuarakan lagu Mandarin yang merdu sekaligus menusuk. Ia merindukan seseorang bernama Xia Li, nama yang bahkan ia sendiri tidak yakin dari mana asalnya. Hanya visinya — gadis dengan rambut dikepang dua dan mata yang menyimpan galaksi.

Zhang Wei menggoreskan puisi di secarik kertas lusuh:

"Di antara bisingnya kaset rusak, Kudengar namamu, Xia Li, bagai pesan tersandi. Angin membawa harum melati dan janji yang tak terucap, _Akankah kita bertemu, di persimpangan waktu yang retak?"

Setiap malam, Xia Li mengirimkan pesan ke nomor yang sudah lama tidak aktif. Setiap malam pula, Zhang Wei membakar kertas berisi puisi di bawah rembulan tiruan yang pucat. Mereka adalah dua jiwa yang terpisah ruang dan waktu, terhubung oleh benang merah yang tampaknya dibuat dari piksel dan debu.

Suatu hari, keanehan terjadi. Pesan Xia Li terkirim. Balasan datang, singkat namun membekas: "Aku di sini. Dekat. Dengarkan laguku."

Xia Li mengikuti instruksi itu. Ia mencari stasiun radio kuno, stasiun yang menyiarkan musik dari masa lalu. Di tengah distorsi dan statik, ia mendengar suara Zhang Wei, membacakan puisi yang sama persis dengan yang pernah ia temukan di mimpi-mimpinya.

Di saat itu, tabir terkuak. Mereka bukan orang asing. Mereka adalah elegi dari cinta yang tidak pernah selesai. Mereka adalah reinkarnasi dari sepasang kekasih yang meninggal karena tragedi di masa lalu, ditakdirkan untuk saling mencari selamanya, terjebak dalam siklus waktu yang kejam. Cinta mereka bukan nyata, hanya gema dari kehidupan yang sudah lewat, resonansi yang semakin lama semakin pudar.

Angin bertiup kencang, menghapus jejak digital dan tinta dari keberadaan mereka. Layar Xia Li padam. Walkman Zhang Wei berhenti berputar.

Semuanya hening...

"Apakah ini akhir... atau hanya jeda sebelum babak selanjutnya?"

You Might Also Like: Jualan Kosmetik Reseller Dropship Kota

OlderNewest

Post a Comment