FULL DRAMA! Pedang Yang Menghapus Luka Ratu

Istana Qianyuan yang dulu gemerlap, kini terasa dingin dan hampa bagi Permaisuri Lian. Sepuluh tahun ia mengabdi, sepuluh tahun ia memberikan segalanya, dan sepuluh tahun pula ia menelan pahitnya kesepian di balik senyum yang selalu ia tunjukkan. Kaisar Xuan, suaminya, tenggelam dalam urusan negara dan – sayangnya – dalam pelukan selir-selirnya.

Namun, di tengah kekosongan itu, hadir Jenderal Zhao. Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai cahaya yang menembus kegelapan hatinya. Pandangan mereka bertemu diam-diam di tengah pesta, kata-kata mereka bertukar makna tersembunyi di balik laporan militer, dan senyum mereka saling menghangatkan di bawah rembulan yang sunyi. Cinta itu tumbuh diam-diam, bagai bunga lotus di tengah lumpur istana.

"Jenderal Zhao," bisik Lian suatu malam, saat ia memergokinya mengawasi latihan pedang di taman. "Kau tahu, bukan? Apa yang kurasakan."

Zhao, yang biasanya gagah perkasa di medan perang, kehilangan kata-kata. Wajahnya memerah. "Permaisuri… saya…"

"Tidak perlu berkata apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu," Lian memaksakan senyum. "Janjilah padaku satu hal: lindungi kerajaanku, lindungi dirinya, meski dia tidak melihat pengorbananmu."

Zhao bersumpah dengan seluruh hatinya. Ia tidak hanya berjanji, ia mengikrarkan nyawanya.

Namun, takdir sering kali kejam. Fitnah merajalela, dan Jenderal Zhao dituduh berkhianat. Kaisar Xuan, yang buta karena hasutan para selir, memerintahkan eksekusi Jenderal Zhao.

Lian berlari, menerobos penjagaan, memohon ampunan. Sia-sia. Di tengah gerimis yang menghancurkan hati, ia menyaksikan pedang algojo mengakhiri hidup Jenderal Zhao. Matanya terkunci pada mata Lian hingga akhir. Ada penyesalan, ada cinta, dan ada satu janji yang tak terpenuhi.

Di hari-hari berikutnya, Lian menjadi bayangan dirinya sendiri. Senyumnya hilang, matanya redup. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai Permaisuri, tapi hatinya telah mati bersama Jenderal Zhao. Kaisar Xuan, yang baru menyadari kekeliruannya, berusaha menebus kesalahan, tapi Lian tak lagi melihatnya.

Suatu malam, Lian mengenakan gaun putihnya yang paling indah. Ia mendatangi ruang kerja Kaisar Xuan. Di tangannya, ia memegang pedang yang dulu digunakan Jenderal Zhao untuk berlatih. Bukan pedang yang tajam dan mematikan, tapi pedang yang terasa berat dengan janji yang dilanggar.

"Xuan," bisik Lian, suaranya datar dan dingin. "Kau telah mengambil segalanya dariku."

Kaisar Xuan menatapnya dengan ngeri. Ia tahu, ia telah menghancurkan hatinya, dan kini, ia akan menuai akibatnya.

Lian tidak membunuh Kaisar Xuan. Ia hanya menusuknya, tepat di jantungnya, dengan pedang tumpul itu. Bukan luka yang mematikan, tapi luka yang akan menyakitkan seumur hidup. Luka yang akan mengingatkannya setiap hari tentang pengkhianatan, tentang penyesalan, tentang cinta yang hilang.

Kaisar Xuan menjerit, bukan karena sakit fisik, tapi karena sakit jiwa. Ia tahu, Lian tidak akan pernah memaafkannya. Ia telah kehilangan cintanya, kepercayaannya, dan yang terburuk, kedamaian batinnya.

Lian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kaisar Xuan tergeletak di lantai. Tidak ada tangis, tidak ada amarah. Hanya kekosongan.

Beberapa hari kemudian, Kaisar Xuan jatuh sakit. Luka di dadanya tidak kunjung sembuh, seolah ada kutukan yang menghantuinya. Dokter istana tidak dapat menemukan penyebabnya. Kaisar Xuan melemah dan akhirnya meninggal dunia.

Tidak ada yang tahu bahwa Lian telah meracuni pedang itu dengan racun yang hanya bisa dideteksi olehnya. Balas dendamnya begitu halus, begitu sempurna, sehingga tak seorang pun menyadarinya. HANYA TAKDIR yang tahu.

Dan di taman istana yang sunyi, lotus putih tumbuh subur, memancarkan aroma yang pahit namun memikat, seolah berbisik: Cinta dan dendam, takdir yang mengikat, mana yang lebih abadi?

You Might Also Like: 150 Tutorial Pelembab Ringan Lokal

Post a Comment