Kau Memilih Tahta, Aku Memilih Luka
Embun pagi merayapi kelopak bunga teratai di taman istana. Sejuk, namun tak menyentuh hatiku yang membeku. Di sanalah, di puncak paviliun kembar, dia berdiri. Zhao Minghao, pangeran mahkota yang diagungkan, pria yang pernah berjanji akan memberiku seluruh bintang di langit. Sekarang, dia hanya siluet jauh, bayangan yang menyakitkan.
Lima tahun lalu, kami adalah dua jiwa yang saling menemukan di tengah intrik istana yang mematikan. Aku, Lin Yuexi, putri selir yang terlupakan. Dia, pangeran yang merindukan kebebasan. Cinta kami tumbuh diam-diam, di bawah naungan pohon sakura yang kini daunnya berguguran seperti air mata. Dia berjanji akan melindungiku, membawaku bersamanya. Bodohnya, aku percaya.
Namun, tahta lebih menggoda dari janji. Sebuah pernikahan politik diatur, dengan putri Jenderal Agung yang ambisius. Minghao tak berdaya, katanya. Negara lebih penting dari cinta, katanya. Bohong.
Aku menelan ludah pahit. Kebohongan adalah fondasi kekaisaran ini. Aku bertekad mencari kebenaran, mengungkap topeng di balik senyumnya. Aku memasuki istana sebagai pelayan, menjadi bayangan di antara bayangan. Aku mendengar bisikan, mencuri pandang, mengumpulkan kepingan informasi yang hilang.
Dan kepingan itu membentuk gambaran mengerikan. Pernikahan politik itu bukan paksaan. Minghao menginginkannya. Kekuatan dan pengaruh Jenderal Agung adalah kunci menuju tahta. Dia mengorbankanku demi ambisinya. Pengorbanan. Kata itu terngiang dalam hatiku seperti gema kematian.
Setiap malam, aku menahan tangis. Setiap pagi, aku merancang rencana. Dendam tumbuh subur di tanah kepedihan. Aku akan memberinya apa yang dia inginkan: tahta. Tapi tahta yang dibangun di atas ABU.
Waktu berlalu. Aku naik pangkat, menjadi orang kepercayaan permaisuri. Aku menabur benih keraguan, memainkan intrik istana seperti bidak catur. Aku memanipulasi, mengkhianati, dan berbohong. Aku menjadi monster yang dia ciptakan.
Puncak dari semua ini adalah malam penobatan Minghao sebagai kaisar. Aku berdiri di belakangnya, senyum terpeta di bibirku saat dia menerima mahkota. Senyum palsu, tentu saja.
"Selamat, Yang Mulia," bisikku, suara sedingin es. "Akhirnya, kau mendapatkan apa yang kau inginkan."
Dia menoleh, matanya memancarkan kebahagiaan yang dibuat-buat. "Yuexi… aku…"
Aku mengangkat tangan, menghentikannya. "Jangan katakan apapun. Semua sudah terlambat."
Di bawah tatapanku, jubah kebesarannya mulai terbakar. Aku telah meracuni benang emasnya dengan ramuan langka, yang akan bereaksi dengan panas tubuhnya. Api itu akan membakarnya perlahan, menyakitkan, sama seperti dia telah membakar hatiku.
Saat api melalapnya, dia menatapku dengan tatapan ngeri. Kebenaran akhirnya terungkap di matanya, terlalu terlambat untuk disesali.
Aku berbalik, meninggalkan kerumunan yang panik. Aku meninggalkan istana, meninggalkan masa lalu. Aku telah membalas dendam, dengan tenang, dengan senyum yang menyimpan perpisahan abadi.
Dendam terbalas bukan berarti hati terobati, bukan?
Apakah kebahagiaan sejati mungkin ditemukan di antara reruntuhan pengkhianatan dan abu dendam?
You Might Also Like: 0895403292432 Peluang Bisnis Skincare_18
Post a Comment