Angin musim gugur menyapu dedaunan di pelataran kuil, sama halnya dengan kenangan yang menyapu hatiku. Dulu, di tempat inilah, Lian dan aku, dua anak laki-laki yatim piatu, berjanji untuk saling melindungi. Lian, dengan senyumnya yang menawan dan mata setajam elang, adalah Matahariku. Aku, Mei, hanya bulan yang memantulkan cahayanya.
"Mei, ingatlah janji ini," bisiknya suatu senja, tangannya menggenggam erat tanganku. "Selamanya."
Selamanya. Kata yang terngiang di telingaku, kini terasa seperti racun yang perlahan membunuhku.
Waktu berlalu. Lian tumbuh menjadi jenderal yang disegani, pahlawan kerajaan. Aku, dengan otak yang cerdas dan keahlian meracik, menjadi penasihat kepercayaannya. Di balik senyum persahabatan, kami memainkan permainan yang mematikan. Setiap kata adalah bidak catur, setiap senyum adalah pedang terhunus.
"Mei, bagaimana menurutmu tentang tawaran aliansi dari Kerajaan Utara?" tanya Lian suatu malam, di bawah rembulan yang pucat. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikiranku.
"Lian, aliansi itu adalah duri yang diselubungi sutra," jawabku, menyembunyikan getar dalam suaraku. "Mereka mengincar sumber daya kita, bukan persahabatan."
Aku tahu, ia tahu, kami berdua tahu. Rahasia itu ada di antara kami, berdenyut seperti jantung yang terluka. RAHASIA tentang malam ketika orang tuaku dibantai, tentang api yang melahap desa kami, tentang suara tawa yang terdengar di tengah kegelapan.
Lama kelamaan, retakan di antara kami semakin lebar. Lian semakin berkuasa, semakin haus akan kekuasaan. Ia menikahi putri kerajaan tetangga, aliansi yang kubenci. Aku melihat kesedihan di matanya, tapi ia terlalu jauh untuk bisa kusentuh.
Suatu hari, aku menemukan surat. Disegel dengan lambang keluarga kerajaan Utara. Surat yang membuktikan bahwa Lian telah berkhianat. Ia yang membunuh orang tuaku, atas perintah raja Utara. IA! Matahariku telah berubah menjadi iblis.
Malam itu, aku menghadapnya. Di bawah temaram obor, kami berdiri berhadapan.
"Lian," desisku, suaraku bergetar. "Kenapa?"
Senyum sinis terukir di bibirnya. "Mei, kau terlalu naif. Kekuasaan adalah segalanya. Persahabatan... hanyalah alat."
"Jadi, selama ini... kau membohongiku?"
"Ya. DAN aku akan melakukan apa pun untuk melindungi kerajaanku, bahkan jika itu berarti mengorbankanmu."
Aku tertawa, tawa yang pahit dan pedih. "Kerajaanmu? Atau Kerajaan Utara?"
Di balik jubahnya, aku melihat kilatan pedang. Tapi terlambat baginya. Aku sudah menyiapkan racun. Racun yang kuracik sendiri, dengan cinta dan kebencian.
"Kau... meracuniku?" bisiknya, matanya membelalak.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup, setelah semua yang kau lakukan?"
Lian terhuyung, mencengkeram dadanya. Ia menatapku, tatapan penuh penyesalan dan kebencian. Aku melihat bayangan anak laki-laki yang dulu berjanji untuk melindungiku.
"Maafkan... aku..."
Ia jatuh ke lantai, mati. Di tanganku, botol racun itu jatuh dan pecah, menyebarkan aroma pahit ke seluruh ruangan. Aku berdiri di sana, di atas jasad orang yang kucintai dan kubenci, dan kebenaran terungkap di hadapanku: Aku bukan bulan yang memantulkan cahayanya. Aku adalah bayangan, yang menunggu untuk menelannya dalam kegelapan.
Balas dendam telah terbalas. Tapi harganya... adalah segalanya.
Aku melakukan apa yang harus kulakukan, tapi adakah yang akan memaafkanku?
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Bimbingan Bisnis
Post a Comment