Di antara gerbang waktu yang berkarat dan tirai bambu yang bergoyang lirih, tersembunyi sebuah kisah. Sebuah kisah tentang cinta yang hanya berani bertunas di alam mimpi, di mana hukum gravitasi hati ditiadakan dan ilusi menjadi satu-satunya kebenaran.
Lukisan usang di dinding kedai teh tua itu menjadi saksi bisu. Di sana, seorang wanita bergaun sutra ungu, wajahnya tersapu kabut, hanya matanya yang menyorotkan kerinduan abadi. Aku percaya, di sanalah dimensi cintaku bersemayam.
Setiap senja, ketika matahari mencelupkan dirinya ke lautan tinta, aku merasakan kehadirannya. Angin berbisik menyebut namanya, nama yang terukir di palung hatiku dengan tinta air mata. Aku mencarinya di antara kelopak bunga plum yang berguguran, di balik bayangan lentera yang menari-nari.
Cintaku padanya adalah melodi yang tak pernah usai, sebuah simfoni bisu yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang merindu. Sentuhannya selembut bulu angsa, suaranya gemerisik daun bambu di musim gugur. Namun, dia selalu lepas dari genggamanku, seperti mimpi yang buyar saat fajar menyingsing.
Aku terjebak dalam labirin waktu, mencari jejaknya di reruntuhan pagoda kuno, di antara prasasti batu yang ditumbuhi lumut. Setiap langkah adalah bayangan dari langkahnya, setiap hembusan napas adalah gema dari tawanya.
Bertahun-tahun aku mencari, hingga suatu malam, di bawah rembulan purnama yang pucat, aku menemukan jawabannya. Lukisan itu bukan hanya sebuah lukisan. Ia adalah cermin, refleksi dari diriku sendiri yang mencoba menciptakan cinta di kekosongan. Wanita bergaun ungu itu adalah aku, yang terperangkap dalam fantasi yang aku ciptakan sendiri.
Pengungkapan ini bagaikan belati perak yang menusuk jantungku. Keindahan ilusi itu begitu memabukkan, hingga kenyataan terasa sangat pahit. Cinta yang begitu intim, begitu abadi, ternyata hanya ilusi yang aku ciptakan untuk menghibur kesepianku.
Lalu, sebuah suara berbisik dari kegelapan... "Apakah kau benar-benar yakin, sayang?"
You Might Also Like: Peluang Bisnis Kosmetik Jualan Online
Post a Comment