Langkah Terakhir di Jalan Berlumur Darah
Hujan Seoul menghantam jendela apartemen minimalisnya, menari dalam irama yang sama dengan detak jantungnya yang kacau. Layar ponselnya menyala, memantulkan wajahnya yang pucat di tengah kegelapan. Sebuah notifikasi: "Lee Minho mengirimkan pesan…" Lagi.
Dia menggigit bibirnya, jemarinya gemetar di atas keyboard. Sudah tiga bulan sejak… sejak malam itu. Malam yang mengubah segalanya menjadi pecahan kaca yang tajam. Malam yang meninggalkan aroma kopi pahit dan janji palsu di udara.
"Jangan pernah lupakan aku," begitu bisiknya malam itu, bibirnya menyentuh dahinya. Kalimat itu sekarang bergaung seperti kutukan.
Chaewon membaca ulang sisa chat mereka. Untaian kata-kata manis yang kini terasa hambar. Emoji hati yang dulu membuatnya tersenyum, kini hanya membuatnya mual. Setiap baris percakapan adalah labirin kenangan, membawa Chaewon kembali ke masa lalu yang ia coba kubur dalam-dalam.
Cinta mereka tumbuh di antara notifikasi, scroll tanpa henti, dan mimpi-mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Minho, dengan senyumnya yang menawan dan janji-janjinya yang berbisik, telah berhasil mencuri hatinya. Namun, di balik senyum itu, ada rahasia yang tersembunyi rapat. Sebuah rahasia yang kini terungkap perlahan, seperti racun yang menyebar di nadinya.
Kehilangan. Itulah yang ia rasakan. Bukan hanya kehilangan Minho, tapi juga kehilangan dirinya sendiri. Dulu, ia adalah Chaewon yang ceria, penuh harapan. Sekarang, ia hanyalah bayangan, hantu dari masa lalu yang terus menghantuinya.
Ia tahu, ia harus berhenti. Berhenti membiarkan Minho terus mengendalikannya, bahkan dari kejauhan. Tapi bagaimana caranya? Kenangan itu seperti tinta yang menempel kuat di kulitnya, tidak bisa dihapus, tidak bisa dihilangkan.
Kemudian, sebuah ingatan muncul. Sebuah percakapan yang terlupakan, sebuah nama yang terabaikan. Park Jihoon. Nama yang sering disebut Minho dalam tidurnya. Nama yang kini menjadi kunci dari semua ini.
Chaewon menelusuri nama itu di internet. Foto seorang pria muncul di layar, wajahnya mirip dengan Minho, namun ada sesuatu yang berbeda. Ada kesedihan yang mendalam di matanya.
Setelah beberapa jam menggali informasi, ia menemukan kebenaran. Minho tidak hanya mencintai Chaewon. Dia juga mencintai Jihoon. Mereka adalah saudara kembar, terpisah oleh ambisi dan cinta yang sama. Jihoon meninggal dalam kecelakaan misterius, dan Minho… Minho membawa semua rahasia itu bersamanya.
Ini bukan hanya tentang cinta segitiga. Ini tentang pengkhianatan, kebohongan, dan kematian.
Chaewon menarik napas dalam-dalam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Balas dendamnya tidak akan berdarah, tidak akan penuh dengan amarah. Balas dendamnya akan LEMBUT.
Ia mengetik pesan terakhir untuk Minho: "Aku tahu segalanya."
Lalu, ia menghapus semua foto Minho dari ponselnya. Menghapus semua chat mereka. Menghapus semua jejaknya dari hidupnya.
Chaewon berdiri di balkon, menghirup udara segar Seoul yang dingin. Hujan telah berhenti. Ia tersenyum. Bukan senyum bahagia, tapi senyum kepuasan. Senyum KEKUATAN.
Ia mengirim pesan singkat ke nomor yang tidak dikenalnya: "Park Jihoon, ini aku, Chaewon. Aku punya sesuatu yang ingin kamu ketahui tentang Minho."
Kemudian, ia menutup pintu balkon. Meninggalkan semuanya di belakang. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi ia juga tahu, ia akhirnya bebas.
Dan itulah akhir dari langkah terakhirnya di jalan berlumur darah… Atau, mungkinkah justru awal dari jalan yang baru?
You Might Also Like: Skincare Viral Di Tiktok Langsung Beli
Post a Comment